Jakarta, Sekala.id – Seorang guru SD di Sleman, Yogyakarta, terpaksa nekat meminjam uang dari pinjaman daring (pinjol) ilegal. Alasannya, dia butuh laptop baru untuk mengajar secara daring di masa pandemi Covid-19. Namun, siapa sangka, pinjol yang katanya mudah dan cepat itu malah bikin dia pusing tujuh keliling. Pasalnya, bunga dan biaya pinjol itu sangat tinggi.
“Awalnya saya pinjam Rp 5 juta, tapi setelah sebulan saya harus bayar Rp 10 juta. Saya kaget dan bingung, ternyata ada biaya admin, biaya asuransi, dan bunga yang tidak jelas,” kata dia, yang minta namanya dirahasiakan, Kamis (23/11/2023).
Dia bukan satu-satunya guru yang mengalami nasib sial ini. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terbaru menunjukkan bahwa guru menjadi profesi yang paling banyak terjerat pinjol ilegal. Dari data OJK, sebanyak 42 persen korban pinjol ilegal adalah guru. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan korban lainnya seperti orang yang terkena PHK sebanyak 21 persen, ibu rumah tangga 18 persen, karyawan 9 persen, dan pelajar 3 persen.
Lalu, kenapa banyak guru yang terjerat pinjol ilegal? CEO & Principal Zapfinance Prita Hapsari Ghozie mengatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah rendahnya literasi keuangan para guru. Menurutnya, banyak guru yang tidak paham tentang bunga, biaya, dan risiko pinjol.
“Banyak yang tergiur dengan pinjol yang menawarkan proses cepat, tanpa jaminan, dan tanpa BI checking. Padahal, pinjol seperti itu biasanya ilegal dan tidak terdaftar di OJK. Mereka bisa menetapkan bunga dan biaya yang sangat tinggi, bahkan sampai 1 persen per hari,” ujar Prita.
Prita juga menyebut bahwa penghasilan guru yang tergolong rendah menjadi faktor lain yang membuat mereka terjebak pinjol ilegal.
“Sementara banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, mulai dari kebutuhan pribadi, keluarga, hingga kebutuhan mengajar,” kata Prita.
Dia menambahkan, banyak para guru yang merupakan generasi sandwich, yaitu mereka yang memiliki peran ganda dalam urusan keuangan, selain membiayai diri sendiri mereka juga membiayai orangtua, dan anak. Peran ganda ini diibaratkan sebagai isian roti lapis yang menanggung beban kedua lapis “roti” atau generasi yang ada di atas dan di bawah.
“Profesi guru, meskipun mulia, tetaplah manusia mungkin tergoda oleh gaya hidup dan kemudahan paylater,” ujar Prita.
Untuk mengatasi masalah ini, Prita meluncurkan “Zap Finance Peduli Guru” yang akan berlangsung mulai 24 November hingga akhir Desember. Program ini akan melibatkan tujuh kota, termasuk Sleman (Yogyakarta), Semarang (Jawa Tengah), Gunung Kaler (Banten), Depok, Bekasi, Bogor (Jawa Barat), dan juga akan menyelenggarakan webinar nasional secara daring di DKI Jakarta.
“Tujuan kami adalah untuk memberikan edukasi dan bantuan kepada para guru yang terjerat pinjol ilegal. Kami juga akan bekerja sama dengan OJK, asosiasi fintech, dan lembaga pendidikan untuk mencegah penyebaran pinjol ilegal di kalangan guru,” kata Prita.
Prita berharap program ini bisa meningkatkan literasi keuangan para guru dan membantu mereka keluar dari lingkaran setan pinjol ilegal. Dia juga mengimbau kepada para guru untuk lebih berhati-hati dalam memilih pinjol dan memastikan bahwa pinjol tersebut terdaftar di OJK.
“Jangan mudah tergiur dengan pinjol yang menawarkan proses mudah dan cepat, tapi tidak jelas regulasinya. Cek dulu legalitasnya di situs OJK atau aplikasi SLIK OJK. Jika ada yang merasa dirugikan oleh pinjol ilegal, segera laporkan ke OJK atau Zapfinance,” pesan Prita.
Berdasarkan laporan OJK, nilai penyaluran pinjaman online di Indonesia mencapai Rp 18,72 triliun pada Oktober 2022. Pinjaman tersebut disalurkan kepada 14,11 juta entitas peminjam. OJK juga mencatat ada 161 penyelenggara pinjol yang terdaftar dan berizin, serta 1.262 penyelenggara pinjol yang ilegal dan ditutup. OJK mengimbau kepada masyarakat untuk berhati-hati dalam menggunakan pinjol dan hanya memilih pinjol yang terdaftar dan berizin di OJK. (Jor/El/Sekala)