Samarinda, Sekala.id – Ketegangan mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi III DPRD Kalimantan Timur pada Senin (2/6/2025) di Gedung E, Samarinda. Agenda yang membahas insiden longsor di Kilometer 28 Desa Batuah, Kutai Kartanegara (Kukar), itu mempertemukan warga, instansi pemerintah, dan pihak perusahaan tambang dalam perdebatan panas soal penyebab bencana yang mengguncang 22 keluarga.
Rapat dipimpin langsung Wakil Ketua Komisi III DPRD Kaltim, Akhmed Reza Fachlevi, dan menghadirkan sejumlah pihak, termasuk Aliansi Rakyat Batuah Bersatu, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan perwakilan dari PT Baramulti Suksessarana Tbk (BSSR), perusahaan tambang yang disebut-sebut sebagai salah satu pihak yang patut dimintai tanggung jawab.
“Kami ingin memperjelas duduk persoalan dan mencari solusi konkret atas dampak longsor ini, termasuk mempertimbangkan tanggung jawab perusahaan,” ujar Reza.
Namun suasana memanas ketika Dinas ESDM menyatakan bahwa longsor tersebut merupakan bencana alam. Pernyataan ini langsung ditentang oleh perwakilan warga, yang mencurigai adanya kaitan antara aktivitas tambang dan bencana tersebut.
Menurut Reza, ada perbedaan tajam dalam pandangan masyarakat dan pemerintah. Masyarakat menduga kuat bahwa kegiatan pertambangan menjadi penyebab utama longsor. Di sisi lain, hasil kajian geologi dari Universitas Mulawarman justru menguatkan penilaian bahwa faktor alam, seperti struktur tanah dan curah hujan tinggi, menjadi pemicunya.
Untuk menjawab polemik ini, Komisi III memutuskan membentuk tim investigasi yang akan turun langsung ke lokasi. Tim ini akan melibatkan Dinas ESDM, masyarakat, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN), dan instansi teknis lainnya guna mengevaluasi penyebab bencana secara objektif.
“Jika terbukti tambang berperan, maka kami pastikan perusahaan wajib bertanggung jawab penuh, termasuk relokasi dan pemenuhan kebutuhan dasar warga seperti tempat tinggal dan fasilitas ibadah,” tegas Reza.
Dari pihak perusahaan, pernyataan berbeda datang dari Dani Romadhoni, perwakilan PT BSSR. Ia membantah bahwa kegiatan tambang menjadi penyebab longsor dan menegaskan bahwa area bencana berada jauh dari wilayah penambangan aktif.
“Curah hujan ekstrem sejak akhir 2024 hingga Mei 2025 menjadi faktor dominan. Kajian internal kami dan UNMUL menunjukkan tidak ada keterkaitan langsung dengan kegiatan tambang,” kata Dani.
Meski demikian, PT BSSR menyatakan tetap berkomitmen memberikan bantuan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Dani bahkan menyebut perusahaan siap menyediakan lahan seluas setengah hektare jika nantinya terbukti bersalah.
Di tengah tarik-menarik itu, suara paling lantang datang dari Kepala Desa Batuah, Abdul Rasyid. Ia menyampaikan kekecewaan terhadap lambatnya bantuan pemerintah dan menegaskan bahwa ia telah mengeluarkan dana pribadi sebesar Rp 30 juta untuk menyewa hunian sementara bagi 22 keluarga terdampak.
“Saya disebut tidak peduli, padahal saya sudah keluar uang sendiri. Saya tantang kepala desa lain, siapa yang mau lakukan hal serupa?” ujarnya kesal.
Rasyid juga menyentil sebagian warga yang menjual lahannya ke tambang namun kemudian menyalahkan perusahaan saat bencana terjadi. “Kalau Anda tidak menjual lahan, aktivitas itu tidak akan ada,” sindirnya.
Sementara itu, Mudaini, salah satu korban longsor, menegaskan bahwa relokasi ke lahan milik pemerintah menjadi kebutuhan mendesak. Ia menyebut lebih dari 90 persen lahan di Dusun Tanijaya sudah dikuasai tambang.
“Kami tidak ingin lahan pinjaman. Kami hanya minta setengah hektare untuk tempat tinggal,” ujarnya dengan suara lirih.
Kepala Dinas ESDM Kaltim, Bambang Arwanto, menambahkan bahwa dari sisi teknis, lokasi longsor memang berada di kawasan rawan secara geologis. Ia merujuk pada formasi tanah Kampung Baru yang memang mudah bergerak ketika jenuh air.
“Jarak antara tambang dan titik longsor masih sesuai ketentuan, yaitu lebih dari 500 meter, sesuai dengan Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2020,” jelas Bambang. (Kal/El/ADV/Sekala)