Samarinda, Sekala.id – Ratusan mitra pengemudi aplikasi Maxim menggelar demonstrasi besar-besaran di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim), Senin (4/8/2025). Mereka menuntut agar penyegelan kantor operasional Maxim di Samarinda segera dicabut. Selain itu, massa meminta pemerintah berlaku adil terhadap semua perusahaan transportasi berbasis daring.
Aksi protes ini dipicu penyegelan kantor Maxim oleh Satpol PP Kaltim beberapa hari sebelumnya, yang dinilai sepihak. Dan menurut peserta aksi tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
“Kalau memang ada evaluasi, audit semua aplikator. Jangan hanya Maxim yang dijadikan sasaran,” tegas Tajuddin Ayuc, Koordinator Gabungan Mitra Cakrawala, dalam orasinya.
Menurut Tajuddin, para mitra tidak mempermasalahkan penetapan tarif oleh Pemprov Kaltim. Namun, tindakan penutupan kantor yang mendadak membuat ribuan pengemudi kehilangan akses layanan teknis dan berdampak langsung pada penghasilan mereka.
“Ketika kantor ditutup, aplikasi bermasalah, server terganggu, dan tidak ada tempat untuk mengadu. Kami hanya ingin bisa bekerja tanpa intimidasi,” ujarnya.
Ia menuding tidak ada sanksi penyegelan yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur soal tarif angkutan daring.
“SK itu mengatur tarif per kilometer, bukan tarif dasar. Tidak ada perintah penutupan kantor. Jangan sampai ini jadi alat untuk menguntungkan aplikator tertentu,” tambahnya.
Desakan massa akhirnya direspons oleh Kepala Bidang Trantibum Satpol PP Kaltim, Edwin Noviansyah Rachim. Ia menyatakan bahwa kantor Maxim akan dibuka kembali, seiring dengan komitmen perusahaan untuk patuh terhadap SK Gubernur dan siap dievaluasi secara berkala.
Sementara itu, pihak Maxim melalui Government Relation Specialist, Muhamad Rafi Assegaf, menegaskan kesiapan perusahaan menjalani evaluasi pemerintah.
“Kami sambut baik pembukaan kembali kantor. Tuntutan mitra menjadi catatan penting untuk perbaikan internal dan menjaga keadilan dalam persaingan,” katanya.
Meski begitu, para mitra pengemudi tetap mengingatkan agar ke depan tidak ada lagi tindakan diskriminatif yang menyasar aplikator tertentu.
“Kami akan terus kawal. Jangan sampai regulasi dijadikan alat tekanan sepihak. Semua aplikator harus diperlakukan setara dan hanya bisa ditindak jika melanggar hukum, bukan karena tekanan atau pesanan,” tegas Tajuddin di akhir aksi. (Kal/El/Sekala)