Jakarta, Sekala.id – Di tengah dinamika nasional, DPR RI menggulirkan wacana yang cukup kontroversial. Sebuah draf Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang mengusulkan larangan terhadap penayangan hasil liputan investigasi menjadi sorotan. Pasal 50 B ayat 2 huruf c dalam draf tersebut secara eksplisit melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, memicu gelombang protes dari berbagai pihak.
Dewan Pers, sebagai lembaga yang mengawal kebebasan pers, menunjukkan sikap tegasnya dengan menolak RUU ini.
“Larangan pada media investigatif? Itu langkah mundur,” ujar Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, dalam sebuah konferensi pers yang berlangsung di Jakarta.
Menurut Ninik, larangan tersebut berpotensi mengikis nilai-nilai demokrasi dan transparansi yang selama ini dijunjung tinggi oleh Undang-Undang Pers.
Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) juga tidak tinggal diam. Mereka bersama-sama mengangkat suara, menentang keras RUU yang dianggap bisa membungkam pers.
“Investigasi adalah nafas jurnalisme. Tanpanya, kita hanya akan mendengar bisikan-bisikan seremonial yang tak berdaya,” kata Bayu Wardhana, Sekjen AJI.
RUU ini juga menyinggung tentang penyelesaian sengketa pers, yang selama ini berada di bawah wewenang Dewan Pers. Namun, draf RUU malah mengalihkan kewenangan tersebut ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebuah langkah yang dinilai mengaburkan garis etika jurnalistik.
“Etika jurnalistik ada di tangan Dewan Pers, bukan di lembaga lain,” tegas Ninik Rahayu.
Sementara itu, Herik Kurniawan, Ketua Umum IJTI Pusat, bahwa pers adalah pilar penting dalam demokrasi. “Tanpa pers yang kuat dan independen, demokrasi hanya akan menjadi bayangan,” tutupnya. (Kal/El/Sekala)