Samarinda, Sekala.id – Pembangunan infrastruktur air di Ibu Kota Negara (IKN) baru bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, proyek-proyek besar seperti bendungan dan sistem transmisi air menjanjikan kemajuan dan modernisasi. Di sisi lain, bagi masyarakat Suku Balik di Sepaku, deru pembangunan ini membawa nestapa dan hilangnya warisan budaya.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur menggemakan keresahan masyarakat Suku Balik. Proyek-proyek raksasa, termasuk Bendungan Sepaku Semoi di Sungai Mentoyok dan sistem intake di Sungai Sepaku, telah merobek benang kehidupan masyarakat yang menggantungkan diri pada Daerah Aliran Sungai (DAS) selama berabad-abad.
“Lebih dari sekadar proyek infrastruktur, bendungan dan sistem air ini mengganggu hubungan erat masyarakat Suku Balik dengan sungai, yang menjadi sumber kehidupan, ekonomi, dan budaya mereka,” tegas Mareta Sari, aktivis JATAM Kaltim.
Hilangnya akses ke air bersih menjadi salah satu dampak nyata. Masyarakat yang dulunya bebas menikmati air sungai untuk kebutuhan sehari-hari, kini terpaksa membeli air. Beban ekonomi pun kian bertambah.
Tak hanya itu, pembangunan Bendungan Sepaku Semoi telah menelan korban, 35 makam leluhur yang berusia dua abad terpaksa dipindahkan. Mareta mengungkapkan kekecewaannya, makam-makam ini diperlakukan seperti benda mati yang bisa diperjualbelikan.
Ketidakjelasan informasi pun menambah luka. JATAM Kaltim menuntut transparansi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terkait proyek-proyek air IKN. Tujuh dokumen penting, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), masih dirahasiakan.
“Sudah hampir satu setengah tahun sejak kami pertama kali mengajukan gugatan pada 17 Oktober 2022. Namun, proses hukum terus terhambat oleh upaya banding dan keberatan dari Kementerian PUPR,” ungkapnya.
Perjuangan JATAM Kaltim dan masyarakat Suku Balik masih panjang. Mereka menuntut hak mereka atas air, tanah, dan warisan budaya yang dirampas oleh pembangunan IKN. Di balik gemerlap modernisasi, kisah pilu ini menjadi pengingat bahwa kemajuan harus ditebus dengan pengorbanan, dan tidak boleh mengorbankan hak-hak dasar manusia dan kelestarian budaya. (Ya/El/Sekala)