Samarinda, Sekala.id – Dunia pers di Kalimantan Timur (Kaltim) kembali diuji. Achmad Ridwan, jurnalis sekaligus pendiri media daring Selasar.co, menjadi korban doxing oleh akun-akun anonim yang menyebarkan data pribadi dirinya dan istrinya secara ilegal. Laporan resmi telah dilayangkan ke Polresta Samarinda pada Senin (19/5/2025), dan kini kasusnya tengah diusut.
Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Hendri Umar, memastikan pihaknya tidak tinggal diam. Sebuah tim khusus telah dibentuk untuk memburu pelaku.
“Laporannya masuk kemarin, hari ini langsung ditangani unit timsus,” ujar Hendri kepada wartawan, Rabu (22/5/2025).
Meski pelaku berlindung di balik akun anonim, Hendri menyebut pelacakan tetap bisa dilakukan melalui kerja sama lintas lembaga. Kominfo dan Direktorat Siber Bareskrim Polri akan dilibatkan dalam penelusuran digital yang mendalam.
“Kalau pun anonim, ada langkah-langkah penyelidikan. Kita akan koordinasi dengan Kominfo dan Siber Bareskrim,” jelasn perwira melati tiga itu.
Hendri mengakui prosesnya tak mudah. Kejahatan siber, menurutnya, membutuhkan bukti elektronik yang presisi dan tahapan pembuktian yang ketat.
“Kita harus tahu mereka masuk lewat akun apa, siapa yang punya akun itu. Tidak bisa instan,” ujarnya.
Kecaman keras datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim. Ketua PWI Kaltim, Abdurrahman Amin, menyebut kasus ini bukan sekadar gangguan digital, tapi bentuk nyata intimidasi terhadap kebebasan pers.
“Ini tindakan pengecut. Yang diserang bukan hanya individu, tapi simbol dari kerja-kerja jurnalistik yang sah secara konstitusional,” tegasnya.
Pria yang akrab disapa Rahman itu mengingatkan bahwa demokrasi memberi ruang untuk kritik, tapi tidak dengan cara-cara gelap dan tanpa identitas seperti doxing. Ia menyebut serangan ini sebagai bentuk pembungkaman yang tak bisa ditoleransi.
“Kalau tidak terima pemberitaan, laporkan ke Dewan Pers. Jangan main sebar identitas. Itu cara-cara otoriter,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa aktivitas buzzer di media sosial tidak ada hubungannya dengan jurnalisme. Menyerang jurnalis karena pemberitaan, kata dia, adalah pelanggaran terhadap prinsip kebebasan berpendapat yang dijamin Undang-Undang.
“Ini sudah bukan ranah debat gagasan, tapi teror terhadap profesi,” pungkasnya. (Jor/El/Sekala)