Samarinda, Sekala.id – Jelang Pemilihan Kepala Daerah Kalimantan Timur (Pilkada Kaltim) yang akan digelar pada 27 November mendatang, ancaman politik uang kembali mencuat sebagai salah satu isu utama. Meskipun menjadi salah satu elemen kunci dalam demokrasi, praktik politik uang masih menjadi momok yang sulit dihindari dalam setiap kontestasi politik.
Galeh Akbar Tanjung, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kaltim Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas, mengungkapkan kekhawatiran serius tentang kondisi politik di daerahnya. Berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) terbaru, Kalimantan Timur berada di peringkat lima nasional dengan nilai 77,04 poin. Posisi tersebut menempatkan Kaltim di belakang Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Jawa Barat dalam hal kerawanan pemilu.
“IKP mencakup empat dimensi penting: konteks sosial-politik, penyelenggaraan pemilu, kontestasi, dan partisipasi,” jelas Galeh.
“Pengambilan data IKP ini sama pentingnya dengan data pemilu itu sendiri karena menjadi dasar dalam merancang program pencegahan dan mitigasi,” tambahnya.
Isu utama yang mengemuka adalah potensi praktik politik transaksional yang berpotensi merusak integritas Pilkada. Galeh menyebutkan bahwa praktik pemberian uang tunai, baik pada tahap pencalonan maupun selama kampanye, menjadi salah satu bentuk kerawanan yang signifikan. Masalah ini diperparah oleh ketidakakuratan laporan dana kampanye yang dapat menambah risiko terjadinya politik uang.
Kekhawatiran ini juga turut diungkapkan oleh Tim Pemenangan Isran Noor dan Hadi Mulyadi, pasangan calon gubernur yang tengah mempersiapkan diri untuk bersaing. Iswan Priady, juru bicara tim, menegaskan bahwa pemberian uang tunai kepada pemilih adalah hal yang sangat merugikan.
“Misalnya, jika setiap pemilih diberi Rp500 ribu, dengan jumlah pemilih di Kaltim yang mencapai jutaan, total biaya yang dikeluarkan akan sangat besar. Bahkan bila dihitung kasar saja, bisa mencapai angka Rp1 triliun,” tegas Iswan.
Menurut Iswan, tentunya ini berpotensi menyebabkan praktik kotor dan merugikan. Apalagi bila mengulik asal finansial yang beredar tersebut.
Isran Noor sendiri menekankan bahwa politik uang adalah potensi besar bagi korupsi.
“Kalau mau kaya, jangan jadi gubernur. Menjadi gubernur untuk kaya hanya bisa dilakukan melalui jalur korupsi. Jika tidak ditangkap KPK, Anda akan menghadapi konsekuensi dalam kehidupan secara langsung,” tegasnya.
Sementara itu, bakal lawan politik Isran dalam Pilkada mendatang, bakal calon Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji, juga menegaskan komitmennya untuk memerangi politik uang. Seno, bersama pasangannya Rudy Mas’ud, telah melaporkan kekhawatiran ini kepada Bawaslu dan Gakumdu, serta Polda Kaltim.
“Kami sudah memberikan pakta integritas dan berharap kerawanan politik uang bisa diminimalisasi,” ucap Seno.
Dengan peringatan tersebut, calon pemilih diharapkan dapat lebih cermat dan fokus pada visi dan misi kandidat daripada tergoda oleh praktik politik uang.
“Apalagi sebagai golongan muda, mesti fokus ke visi-misi. Itu yang harus diperhatikan,” kuncinya. (Jor/El/Sekala)