Samarinda, Sekala.id – Rencana pemindahan pusat pemerintahan ke Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, wacana Presiden Prabowo Subianto untuk berkantor di IKN pada 2028 memicu pertanyaan besar. Apakah proyek ini sudah benar-benar siap untuk menjadi wajah baru Indonesia?
Bukan tanpa alasan, berbagai kritik muncul dari akademisi yang mempertanyakan kesiapan infrastruktur hingga dampaknya pada anggaran negara. Wesley Hutasoit, akademisi Universitas 17 Agustus Samarinda (Untag), menyebut bahwa ambisi besar ini masih jauh dari kesiapan di lapangan.
“IKN tidak hanya soal gedung pemerintahan, tapi juga kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan hiburan. Apakah semua itu sudah siap? Nyatanya, jumlah sekolah dasar dan menengah di sana belum mencukupi,” kata Wesley.
Ia juga menekankan bahwa tanpa fasilitas rekreasi yang memadai, sulit untuk membuat IKN menarik sebagai tempat tinggal.
“Jika pemerintah ingin menciptakan kota yang hidup, hiburan itu kunci. Lihat saja Bontang, yang minim hiburan dan akhirnya hanya jadi kota industri tanpa denyut sosial,” tambahnya.
Namun, sorotan paling tajam justru datang dari persoalan anggaran. Purwadi, pengamat ekonomi Universitas Mulawarman, mengingatkan bahwa pembangunan IKN tidak bisa mengabaikan kondisi fiskal negara.
“Defisit APBN kita sudah di angka Rp401 triliun. Kalau semua bergantung pada APBN, apa yang tersisa untuk program lainnya? Ini bukan hanya soal uang, tapi juga soal prioritas,” tegas Purwadi.
Ia juga mengkritisi minimnya infrastruktur digital di IKN yang menjadi hambatan besar.
“Kita bicara kota masa depan, tapi internet saja belum layak. Bagaimana IKN mau bersaing dengan Jakarta?” katanya.
Di sisi lain, wacana ini juga membawa persoalan citra. Wesley mengingatkan bahwa IKN harus menjadi simbol kebanggaan nasional, bukan sekadar “pembuangan” bagi ASN bermasalah.
“Ini kesempatan emas untuk menunjukkan Indonesia bisa membangun kota yang modern dan manusiawi. Tapi jika tak dikelola serius, IKN hanya akan menjadi proyek mahal yang kehilangan rohnya,” katanya.
Di tengah ambisi besar ini, kritik dari akademisi seharusnya menjadi pengingat bahwa membangun IKN bukan hanya soal infrastruktur fisik, tapi juga tentang menciptakan ekosistem. (Jor/El/Sekala)