Samarinda, Sekala.id – Budayawan Roedy Haryo Widjono menyoroti tajam pelaksanaan program pendidikan gratis (GratisPol) di Kalimantan Timur (Kaltim), yang dinilainya masih menyisakan banyak kejanggalan. Dalam diskusi publik bertema “Arah Program Gratispol dan Masa Depan Pendidikan Kaltim” di Teras Samarinda, Senin (30/6/2025), ia menegaskan bahwa pendidikan bukanlah ruang netral, melainkan alat yang bisa membebaskan atau justru menindas masyarakat.
Roedy, dalam wawancara dengan Sekala.id usai acara, menuturkan bahwa pendidikan yang dijalankan dalam sistem tidak adil, tertutup, dan koruptif justru akan melahirkan generasi yang terbiasa dengan ketimpangan.
“Pendidikan adalah cerminan ekosistem sosial. Jika sistemnya bermasalah, maka lulusannya pun akan cenderung melanggengkan pola penindasan ketika berkuasa,” ujarnya.
Menurut Roedy, program GratisPol yang digagas Pemerintah Provinsi Kaltim masih jauh dari ideal. Ia mempertanyakan transparansi mekanisme pelaksanaan program tersebut, yang kerap tumpang tindih dengan program lain seperti Beasiswa Kaltim Tuntas dan Kaltim Cemerlang.
“Informasinya sering berubah-ubah, membuat masyarakat bingung. Akibatnya, kepercayaan terhadap keberlanjutan program ini merosot,” kritiknya.
Lebih lanjut, Roedy menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh hanya dipandang sebagai urusan teknis, seperti keringanan biaya atau kelengkapan administrasi. Ia menyerukan agar pendidikan di Kaltim memiliki muatan moral yang kuat dan berpihak pada keadilan sosial.
“Jika pendidikan hanya dijadikan proyek, yang lahir bukan manusia merdeka, melainkan pelaku baru dari sistem penindasan,” katanya.
Roedy juga menyayangkan hilangnya pengetahuan masyarakat adat dan hak atas sumber daya alam di Kaltim. Menurutnya, pendidikan yang gagal membela hak atas tanah, budaya, dan identitas lokal hanya akan memperparah ketimpangan struktural.
“Apa artinya pendidikan jika pengetahuan lokal punah dan rakyat kehilangan akses terhadap sumber daya? Program seperti GratisPol harus dikawal ketat agar tidak malah menjadi bagian dari masalah,” tegasnya.
Di sisi lain, Roedy mengapresiasi peran mahasiswa dan masyarakat sipil yang kian aktif mengawal janji-janji pemerintah, termasuk di sektor pendidikan. Ia menilai pengawasan publik sebagai kunci untuk memastikan pendidikan tetap menjadi alat pembebasan, bukan penindasan.
“Tanpa pengawasan masyarakat, pendidikan bisa tersesat dari tujuannya,” pungkasnya. (Jor/El/Sekala)