Samarinda, Sekala.id – Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Hilmar Farid, menekankan pentingnya memberdayakan pengetahuan lokal sebagai upaya melestarikan ekosistem kebudayaan di Kalimantan. Dalam diskusi bertema “Memajukan Ekosistem Kebudayaan di Kalimantan” yang digelar di Universitas Mulawarman, Selasa (8/10/2024), Hilmar menyoroti dampak buruk pembangunan besar-besaran terhadap keseimbangan ekologis dan budaya masyarakat adat di Tanah Borneo.
“Kalimantan telah kehilangan lebih dari 312 juta hektar hutan primer antara tahun 2008 hingga 2019. Pembangunan yang eksploitatif tidak hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga merusak tatanan sosial dan budaya masyarakat adat,” kata Hilmar.
Hilmar menjelaskan, masyarakat adat seperti suku Dayak dan Banjar sangat bergantung pada hutan, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan budaya mereka. Namun, selain deforestasi, ekspansi perkebunan kelapa sawit dan aktivitas tambang telah mengubah sekitar 48 juta hektar lahan, memperparah krisis lingkungan dan sosial di wilayah tersebut.
“Lahan hutan adat kini semakin terancam, dengan 57 persen dari total lahan tersebut sudah terpengaruh oleh konsesi perkebunan. Konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan pun makin marak terjadi,” lanjutnya.
Menurut Hilmar, solusi untuk mengatasi tantangan ini adalah dengan memberdayakan pengetahuan lokal yang diwariskan oleh masyarakat adat secara turun-temurun. Sistem pertanian ladang berpindah dan pengelolaan air tradisional yang diterapkan oleh masyarakat Banjar merupakan contoh nyata bagaimana kearifan lokal dapat mendukung keberlanjutan ekologi.
“Pemberdayaan pengetahuan lokal sangatlah penting, karena hal itu mencerminkan keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan regenerasinya,” jelasnya.
Ia menambahkan, perencanaan budaya yang melibatkan partisipasi masyarakat adat menjadi kunci untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Tanpa keterlibatan mereka, pembangunan eksploitatif akan terus merusak ekosistem dan budaya setempat.
“Masyarakat adat harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait pembangunan. Ini adalah satu-satunya jalan untuk menjaga keseimbangan ekologi dan budaya di Kalimantan,” pungkasnya. (Jor/El/Sekala)