Samarinda, Sekala.id – Mahasiswa Kalimantan Timur (Kaltim) kembali turun ke jalan, kali ini dengan semangat yang menyala-nyala. Di depan Gerbang Universitas Mulawarman (Unmul) pada Kamis (22/8/2024), ratusan mahasiswa dari berbagai fakultas bersatu, menentang revisi Undang-Undang Pilkada yang dianggap sebagai ancaman serius terhadap demokrasi. Dengan poster-poster provokatif dan orasi yang menggema, mereka mengirim pesan kuat: Samarinda bergolak, melawan upaya pelemahan konstitusi.
Mereka tergabung dalam Mahasiswa Kalimantan Timur Bergerak (MAKARA) ini menyoroti revisi Undang-Undang Pilkada yang tengah digodok oleh Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Selain itu mereka juga menyuarakan isu krusial lainnya yang dinilai merugikan rakyat.
Sejak pukul 15.00 Wita, kerumunan mahasiswa semakin membesar. Dari berbagai fakultas, mereka datang dengan membawa spanduk dan poster berisi seruan lantang: “Selamatkan Demokrasi, Tolak Pelemahan Konstitusi!” Di tengah lautan manusia itu, poster-poster tersebut menjadi simbol perlawanan.
Muhammad Yuga, koordinator aksi sekaligus mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, dengan tegas menyatakan bahwa gerakan ini tak hanya menggema di Samarinda. Aksi ini tak hanya sekadar protes lokal. Ini adalah bagian dari solidaritas nasional mahasiswa Indonesia yang menolak revisi UU Pilkada.
“Kami tidak ingin konstitusi yang dibangun dengan susah payah dilemahkan oleh kepentingan politik tertentu,” tandas Yuga.
Jumlah massa yang semula diperkirakan mencapai 400 orang terus bertambah seiring berjalannya waktu. Beberapa badan eksekutif mahasiswa turut bergabung, memperkuat barisan demonstran.
Selain menentang revisi UU Pilkada, mahasiswa juga mengajukan sejumlah tuntutan lain: penghentian komersialisasi pendidikan, penolakan revisi UU TNI dan Polri, dukungan terhadap RUU Masyarakat Adat, penerapan reforma agraria sejati, penolakan revisi UU Penyiaran, serta penyelesaian pelanggaran HAM. Tuntutan-tuntutan ini diartikulasikan melalui aksi simbolis, seperti membakar poster yang menggambarkan “Demagok” sebagai kritik terhadap kepemimpinan yang dinilai lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada rakyat.
Di lain pihak, pengamat hukum dari Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Samarinda, Roy Hendrayanto, menyoroti kekuatan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Putusan MK tidak hanya mengikat para pihak, tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes),” jelas Roy.
Ia menambahkan bahwa saat ini DPR RI gagal mengesahkan RUU Pilkada menjadi UU dalam Rapat Paripurna pada 22 Agustus 2024, lantaran ketidakhadiran 87 legislator yang menyebabkan sidang tak kuorum.
Roy pun menggarisbawahi pentingnya asas erga omnes, yang tercermin dari ketentuan bahwa putusan MK langsung dapat dilaksanakan tanpa memerlukan keputusan pejabat lain.
“Ini menandakan masih ada rasionalitas di antara para legislator Senayan,” ujarnya.
Menurutnya, dalam konteks konstitusi, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945. MK, lanjut Roy, memiliki wewenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, hingga memutus perselisihan hasil pemilihan umum. (Jor/El/Sekala)