Klausa.co – Mereka tidak mau keluar dari kamar atau rumah mereka selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Mereka menghindari kontak dengan orang lain dan mengisolasi diri dari kehidupan sosial. Mereka adalah hikikomori, sebutan untuk orang-orang yang menarik diri dari masyarakat karena berbagai alasan.
Fenomena ini pertama kali dikenal di Jepang, di mana diperkirakan ada setengah juta pemuda dan lebih dari setengah juta orang dewasa tengah baya yang menjadi hikikomori. Namun, fenomena ini tidak hanya terbatas di Jepang, tetapi juga menyebar ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Apa penyebab seseorang menjadi hikikomori? Apa dampaknya bagi kesehatan fisik dan mental mereka? Bagaimana cara mengatasi masalah ini? Klausa.co mencoba menggali lebih dalam tentang fenomena hikikomori di Jepang dan Indonesia.
Penyebab Hikikomori
Menurut psikiater Tamaki Saito, yang pertama kali menciptakan istilah hikikomori pada tahun 1998. Hikikomori adalah “Sebuah keadaan yang menjadi masalah pada usia 20-an akhir, berupa mengurung diri sendiri di dalam rumah sendiri dan tidak ikut serta di dalam masyarakat selama enam bulan atau lebih, tetapi perilaku tersebut tampaknya tidak berasal dari masalah psikologis lainnya sebagai sumber utama.”
Penyebab hikikomori tidak bisa disimpulkan secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga berpengaruh. Berikut faktor-faktor tersebut.
Sekentei, sebuah istilah yang merujuk pada upaya untuk menjaga reputasi diri sendiri serta adanya tekanan untuk menampilkan kesan positif di mata orang lain. Orang yang gagal memenuhi harapan atau standar sosial mungkin merasa malu atau bersalah dan memilih untuk menghindari kontak dengan orang lain.
Amae, istilah ini artinya ketergantungan. Biasanya ibu yang sangat menyayangi anaknya dan memperlakukan seperti anak kecil. Hal ini bisa membuat anak menjadi terlalu bergantung pada ibu dan tidak mau mandiri atau beradaptasi dengan lingkungan luar.
Masalah sosial seperti bullying, kekerasan, diskriminasi, persaingan, atau kesulitan komunikasi di sekolah, kampus, atau tempat kerja. Hal ini bisa menimbulkan stres, trauma, depresi, atau rasa tidak percaya diri yang membuat seseorang ingin melarikan diri dari realitas.
Kecanduan game online atau offline bisa menjadi sarana untuk melampiaskan emosi, mengisi waktu luang, atau mencari pengakuan dari sesama pemain. Namun, jika berlebihan, game bisa membuat seseorang kehilangan minat terhadap hal-hal lain dan mengabaikan kewajiban atau tanggung jawabnya.
Faktor gender juga berpengaruh. Laki-laki lebih banyak menjadi hikikomori daripada perempuan. Hal ini mungkin karena adanya perbedaan ekspektasi dan tekanan sosial yang dialami oleh laki-laki dan perempuan di Jepang. Laki-laki diharapkan untuk menjadi sukses, mandiri, dan bertanggung jawab, sedangkan perempuan diharapkan untuk menjadi penurut, lembut, dan mendukung. Jika laki-laki merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi tersebut, mereka mungkin merasa minder atau frustrasi dan menarik diri dari masyarakat.
Dampak Hikikomori bagi Kesehatan
Hikikomori tidak hanya berdampak buruk bagi kehidupan sosial dan ekonomi pelakunya, tetapi juga bagi kesehatan fisik dan mental mereka. Menurut beberapa penelitian, hikikomori dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, obesitas, kanker payudara, depresi, demensia, skizofrenia, hingga keinginan untuk bunuh diri.
Hikikomori juga dapat menyebabkan gangguan tidur, kekurangan vitamin D, penurunan fungsi kognitif, dan peningkatan stres oksidatif. Selain itu, hikikomori juga dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
Dampak hikikomori bagi kesehatan tidak hanya dirasakan oleh pelakunya sendiri, tetapi juga oleh keluarga dan orang-orang terdekat mereka. Keluarga hikikomori sering mengalami stres, kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan konflik akibat perilaku anak atau anggota keluarga mereka yang mengurung diri. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan finansial atau sosial karena harus menanggung biaya hidup atau menghadapi stigma dari masyarakat.
Untuk mengatasi dampak hikikomori bagi kesehatan, diperlukan upaya dari berbagai pihak, termasuk pelaku hikikomori sendiri, keluarga, profesional kesehatan mental, pemerintah, dan masyarakat. Beberapa langkah yang dapat dilakukan, memberikan dukungan emosional dan bantuan praktis kepada pelaku hikikomori dan keluarganya.
Mendorong pelaku hikikomori untuk mencari bantuan profesional jika mengalami gangguan kesehatan mental atau fisik. Memberikan edukasi dan informasi tentang fenomena hikikomori dan cara mengatasinya kepada masyarakat.
Membuat program atau fasilitas yang dapat membantu pelaku hikikomori untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap dan aman.
Meningkatkan kesadaran dan toleransi terhadap perbedaan individu dan budaya di masyarakat.
Hikikomori adalah fenomena yang mengkhawatirkan dan membutuhkan perhatian serius dari semua pihak. Dengan adanya pemahaman dan kerjasama yang baik, diharapkan fenomena ini dapat diatasi dan dicegah agar tidak semakin meluas dan merugikan. (Zal/Mul/Klausa)