Samarinda, Sekala.id – Penyakit Tuberkulosis atau biasa dikenal dengan sebutan TBC, masih menjadi penyakit yang kasusnya cukup tinggi di Indonesia. Berdasarkan data WHO tahun 2022, kasus TBC di Indonesia menduduki peringkat kedua dunia setelah India.
Tercatat, ada sekitar 969 ribu kasus TBC di Indonesia. Dari angka tersebut, jumlah kematian sebanyak 93 ribu per tahun atau setara dengan 11 kematian per jam. Sedangkan di Samarinda menurut data tahun 2022, ada 3.706 kasus TBC yang terdeteksi oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Samarinda.
TBC merupakan penyakit menular disebabkan Mycobacterium tuberculosis yang biasanya menyerang paru-paru (sistem pernapasan). Akan tetapi, tidak jarang pula bakteri ini menyerang dan memengaruhi bagian tubuh atau organ lainnya.
Penyakit TBC tidak hanya menyerang orang tua saja. Dalam beberapa kasus juga menyerang anak yang sedang dalam masa-masa keemasan pertumbuhan. Seperti halnya yang terjadi pada kasus anak di Kota Samarinda yang mengalami TBC.
Saat menghadiri agenda Rapat Persiapan Rembuk Stunting tingkat kecamatan se-Kota Samarinda. Kepala Puskesmas Sempaja Kota Samarinda Irama Fitamina menyampaikan soal penemuan kasus anak stunting yang erat kaitannya dengan penyakit TBC.
“Salah satu anak usia bawah dua tahun (baduta) yang stunting, ternyata menderita TBC. Apabila tidak ditangani, masalah yang mendasar ini. Mau menerima sebanyak apapun (makanan), dia tidak akan bisa terlepas dari stunting,” ungkapnya, Kamis (4/5/2023).
Apabila merujuk pada kasus anak pengidap TBC dan stunting. Ternyata keduanya tidak dapat dipisahkan justru menimbulkan hubungan bolak balik. Anak-anak pengidap TBC bisa memicu stunting dan begitupun sebaliknya, anak-anak stunting bisa meningkatkan kemungkinan TBC laten (tanpa gejala) menjadi TBC aktif.
Pasalnya, salah satu faktor risiko dari TBC, dengan adanya gangguan gizi yang akhirnya menyebabkan gangguan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Sedangkan status gizi merupakan faktor penting bagi terjadinya infeksi. Tubuh bisa melawan infeksi dengan baik jika diimbangi dengan makanan bergizi dalam jumlah yang banyak. Itulah mengapa kasus stunting dan TBC tidak dapat dipisahkan.
Makanya, lanjut Irama, menangani stunting tidak hanya soal sanitasi lingkungan, air bersih dan sebagainya. Karena, ada faktor lain yang juga berhubungan dengan anak stunting, yakni mereka penyakit penyerta seperti TBC.
“Setelah anak ini diperiksa ternyata TBC. Rupanya karena ada kontak dengan orang tuanya. Dia sudah batuk lama dan setelah di PCR ternyata positif. Jadi itu harus diobati dulu penyakit yang mendasarinya,” jelasnya.
Setelah anak pengidap TBC yang dimaksud tersebut diberikan pengobatan awal, terang Irama, berat badan anak tersebut bertambah. Padahal, baru beberapa kali menjalani pengobatan TBC.
Namun ada hal yang sangat disayangkan oleh Irama. Yakni ketersediaan obat TBC anak yang kosong. Sehingga, mereka yang mengidap TBC menjadi kesulitan untuk mengobati penyakitnya.
“Sampai sekarang obat TBC untuk anak masih kosong. Bagaimana kita bisa mengatasinya?” keluhnya.
“Intinya jika TBC tidak diatasi, stunting tidak akan bisa diatasi juga. Jadi begitu diatasi masalah dasarnya, maka akan menunjukkan peningkatan. Ya, memang kompleks mengatasi masalah stunting ini. Harus dilihat sumber masalahnya,” sambungnya. (Apr/Fch/Sekala.id)