Samarinda, Sekala.id – Nuansa spiritual menyelimuti Vihara Muladharma, Samarinda, saat umat Buddha merayakan Waisak 2568 TB/2024 M. Malam itu, Jalan PM Noor bertransformasi menjadi lautan putih, dihiasi dengan jubah para umat.
Ferdianto Cahyadi, Pandita Madya, memandu jalannya perayaan dengan penuh khidmat. Dalam Dhammadesananya, beliau mengupas esensi Waisak, hari yang memperingati kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Sang Buddha Gautama.
“Waisak bukan hanya tentang ritual, tetapi juga momentum untuk introspeksi diri dan memperkuat tekad untuk hidup di jalan Dharma,” jelas Pandita Cahyadi.
Perayaan diawali dengan Puja Bakti, lantunan puja suci yang membangkitkan rasa syukur dan kedamaian. Dilanjutkan dengan Dhammadesana yang penuh makna, umat Buddha diajak untuk merenungkan ajaran Buddha dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Puncaknya, menjelang detik-detik Waisak, umat Buddha larut dalam meditasi, menenangkan diri dan memanjatkan doa. Suasana hening dan khusyuk menyelimuti vihara, menandakan momen sakral perayaan Waisak.
Tradisi pradashina, mengelilingi tempat suci sebanyak tiga kali, menjadi bagian tak terpisahkan dari Waisak. Umat Buddha berjalan dengan penuh ketulusan, membawa bunga-bunga sebagai persembahan dan simbol penghormatan kepada Sang Buddha.
“Bunga melambangkan keharuman hati kita dan siklus kehidupan,” ujar Pandita Cahyadi.
Dia menuturkan, putih melambangkan kesucian hati dan harapan untuk membersihkan diri dari segala kotoran batin.
Antusiasme umat Buddha terlihat jelas. Mereka datang dari berbagai penjuru Samarinda, dengan wajah penuh kebahagiaan dan harapan. Bagi mereka, Waisak adalah momen untuk memperbarui komitmen dalam mengikuti jalan Buddha.
Perayaan Waisak 2568 TB di Vihara Muladharma ditutup dengan penuh hikmat dan rasa syukur. Harapan untuk menyambut lebih banyak umat di tahun depan menggema, menjadi semangat baru bagi umat Buddha di Samarinda untuk terus menyebarkan cahaya Dharma dan membangun kehidupan yang lebih baik. (Jor/El/Sekala)