Samarinda, Sekala.id – Janji makan siang gratis bagi siswa yang akan menjadi pekerjaan rumah bagi pasangan calon Gubernur Kaltim peraih suara terbanyak, Rudy Mas’ud dan Seno Aji. Pasalnya, saat kampanye Pilkada serentak 2024 lalu, pasangan ini berkomitmen menjalankan program nasional tersebut.
Program ini menjanjikan harapan besar bagi generasi muda Kaltim, tetapi tantangan untuk mewujudkannya jauh lebih kompleks daripada sekadar angka di atas kertas. Bagi banyak warga, janji ini terasa seperti angin segar di tengah isu gizi buruk yang masih menghantui sebagian wilayah Kaltim. Namun, di balik optimisme itu, akademisi Universitas Mulawarman, Purwadi, memperingatkan bahwa tanpa strategi yang matang, program ini berpotensi hanya menjadi janji kampanye belaka.
Dengan APBD Kaltim yang mencapai Rp25 triliun, sebagian pihak optimistis bahwa dana ini cukup untuk mendukung program makan gratis berkualitas. Namun, Purwadi menekankan pentingnya memperhatikan kualitas, bukan sekadar memenuhi porsi.
“Bukan hanya soal memberikan makan. Anak-anak butuh gizi seimbang untuk tumbuh optimal. Alokasi Rp10 ribu per anak terlalu minim. Idealnya, anggaran harus ditingkatkan menjadi Rp15 ribu hingga Rp25 ribu,” kata Purwadi.
Ia juga mengingatkan bahwa program ini memiliki implikasi besar bagi masa depan Kaltim, terutama dalam mendukung generasi emas 2045. Gizi yang baik adalah pondasi untuk menciptakan SDM unggul.
Namun, optimisme itu terbentur kenyataan pahit. Distribusi anggaran yang timpang di Kaltim menjadi tantangan tersendiri. Kabupaten seperti Kutai Timur, dengan APBD Rp14 triliun, memiliki ruang gerak lebih besar dibandingkan daerah lain yang anggarannya jauh lebih kecil.
“Sinergi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sangat penting. Tanpa koordinasi, program makan gratis ini hanya akan menjadi ilusi di atas kertas,” ujar Purwadi.
Ia juga menyoroti pentingnya subsidi dari pemerintah provinsi untuk daerah-daerah dengan anggaran terbatas. Menurutnya, program ini membutuhkan komitmen lintas sektor yang kuat.
Purwadi menawarkan solusi yang lebih integratif. Menurutnya, program makan gratis ini seharusnya tidak hanya fokus pada pemberian makan, tetapi juga pemberdayaan ekonomi lokal.
“Bayangkan jika bahan baku untuk program ini berasal dari petani lokal. Beras, sayur, hingga lauk pauk disuplai oleh komunitas tani atau usaha kecil di daerah. Ini akan menciptakan dampak ganda, gizi anak terpenuhi, ekonomi lokal bergerak,” jelasnya.
Namun, untuk merealisasikan ide ini, pemerintah harus rela memangkas anggaran dari pos-pos yang kurang penting, seperti perjalanan dinas atau proyek seremonial.
“Keberanian politik adalah kunci. Jika ini hanya sekadar janji kampanye, maka rakyat akan kecewa,” tegasnya.
Bagi Rudy dan Seno, program ini bukan hanya soal memenuhi janji politik, tetapi juga tentang membuktikan diri di mata publik. Program makan gratis bisa menjadi warisan politik yang diingat, atau justru menjadi stigma kegagalan jika tidak terwujud. (Jor/Mul/Sekala)