Samarinda, Sekala.id – Gelombang penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) semakin menguat. Kali ini, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Kaltim lantang menyuarakan kekhawatiran mereka atas pasal-pasal karet yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers.
“Pasal-pasal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin tidak adanya penyensoran,” tegas Ketua IJTI Kaltim, Arditya Abdul Aziz, pada Kamis sore (6/6/2024).
Aziz menjelaskan bahwa RUU Penyiaran mengandung pasal-pasal yang membatasi jurnalisme investigasi, yang merupakan inti dari jurnalisme berkualitas. Pasal-pasal ini, menurutnya, dapat menghambat kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di Indonesia.
“Tercantum pada Pasal 50B ayat 2 huruf c dan k. Pasal-pasal inilah yang dianggap mengkriminalisasi aktivitas jurnalisme investigatif,” ungkap Aziz.
Pasal 50B ayat 2 huruf c membahas penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, sedangkan huruf k membahas penayangan isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Aziz juga menyoroti Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 Ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Pasal ini memberikan wewenang kepada KPI untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran, yang tentu tumpang tindih dengan UU Pers yang menetapkan Dewan Pers sebagai otoritas penyelesaian sengketa pers,” jelasnya.
IJTI Kaltim khawatir, jika pasal ini disahkan, akan terjadi pengebirian pers, sehingga kemerdekaan jurnalistik dikorbankan.
“Meskipun ada juga beberapa pasal-pasal yang baik, namun hal itu dinilai mengandung potensi ancaman terhadap kebebasan pers,” tegasnya.
Oleh karena itu, IJTI Kaltim berkomitmen untuk terus memantau perkembangan RUU Penyiaran dan menuntut pencabutan pasal-pasal bermasalah tersebut.
“Kemerdekaan pers harus dijaga, dan setiap upaya untuk mengganggunya harus ditolak dengan tegas,” pungkas Aziz.
Penolakan terhadap RUU Penyiaran ini menunjukkan bahwa masyarakat sipil semakin sadar akan pentingnya menjaga kemerdekaan pers. RUU Penyiaran memang penting untuk memastikan regulasi yang baik dalam industri penyiaran, namun harus diingat bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi adalah fondasi dari demokrasi yang sehat. (Kal/El/Sekala)